
Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Ungkapan ini dipegang teguh oleh Dr HM Alifuddin.
Dengan kemauan yang kuat, pria yang dulunya seorang petani di kampung halamannya, kini menjadi pemilik Universitas Handayani Makassar.
“SAYA lahir dari orang tua yang miskin di sebuah desa Kabupaten Wajo. Setamat SD saya hijrah dari desa. Walau berat karena harus meninggalkan orang tua dan keluarga, tapi apa boleh buat, demi mencari ilmu dan memperbaiki nasib saya berangkat merantau ke Sumatera,” begitu penjelasan Dr Alifuddin mengawali sesi podcast untuk kanal Youtube Berita Kota Makassar. Ketika itu usianya baru menginjak 15 tahun. Alifuddin merupakan sulung dari enam bersaudara.Lahir di Wajo, 15 Juni 1965 dari pasangan Andi Falumeri (alm) dan Hj Nusiah.
Di tanah rantau, remaja Wajo itu menjadi seorang pelaut. Dengan kapal laut, ia berkeliling dari satu kota ke kota lain di Sumatera. Di antaranya Palembang, Sungai Dua, Kampung Laut, hingga Jam- bi, Bangka, Sungai Lokasi sampai Tanjung Pinang. Walau tidak digaji, Alifuddin tak mempermasalahkannya. Ia melakukan itu demi memperluas wawasan dan menambah pengalaman. Di sini, jiwa bisnisnya mulai terlihat. Alifuddin kemudian merintis usaha berdagang pakaian.
” Saya beli baju di Tanjung Pinang kemudian dibawa ke daerah lain untuk dipasar- kan. Saya drop ke perantau yang ada di sana. Pendatang memang sangat dihargai. Atas dasar kepercayaan saya drop barang dan meminta ke mereka untuk dijual. Seminggu kemudian saya datang untuk ambil uang- nya. Sistemnya bagi hasil,” terangnya.
Selama setahun Alifuddin muda menggeluti usaha tersebut. Uang dari hasil berbisnis kemudian dikumpulkan. Ia kembali hijrah ke daerah lain. Kali ini ke Jakarta. Di ibu kota negara, Alifuddin mengikuti berbagai jenis kursus keterampilan. Mulai dari montir, mengetik, bahasa Inggris, mengemudi hingga menjahit. Setelah merasa bekalnya cukup, ia memberanikan diri ke Makassar. Di usianya yang masih belia kala itu, yakni 16 tahun, Alifuddin merintis sebuah tempat kursus mengetik. Lokasinya di Jalan Nuri.
“Itu satu-satunya tempat kursus mengetik dan menjadi yang pertama di Makassar. Bermodal spanduk, saya tulis menerima siswa baru mengetik 10 jari sistem buta,” jelasnya.
Sistem buta yang dimaksud, pandangan peserta kursus tidak diarahkan ke tuts mesin tik, melainkan ke teks. “Jadi tutnya ditutup dan tidak boleh dilihat. Ini untuk melatih siswa. Kalau saya waktu itu bisa melakukan 400 hentakan per menit, dengan tangan 10 jari bekerja,” ujarnya.
Di awal membuka tempat kursus, Alifuddin tak punya modal sehingga tidak mam- pu untuk menyewa. Ia lalu mencari cara dengan men- cari rumah kosong di Jalan Nuri. Selanjutnya menemui pemilik rumah tersebut. “Saya sampaikan ke dia bahwa saya punya keter- ampilan mengetik. Saya yakinkan ini bisa berhasil. Akhirnya dikasihlah tempat itu oleh yang punya rumah tanpa bayar apa-apa,” ungkapnya.
Setahun kemudian, usaha tempat kursus Alifuddin tel- ah berbuah hasil. Uang yang diperoleh dari pembayaran peserta kursus sudah mampu membayar sewa rumah yang ditempati. Diakui Alifuddin, saat itu jumlah pengangguran berpendidikan di Indonesia melonjak. Banyak sarjana yang tidak mendapatkan pekerjaan. Sementara mereka alergi dengan kursus, karena menganggap dirinya tak memerlukan itu sebab sudah sarjana. Namun, ia tak patah arang. Brosur pun dicetak dan terus berusaha meyakinkan bahwa kursus mengetik diperlukan untuk menambah keterampilan.
Kian hari tempat kursus yang didirikan Alifuddin semakin diminati dan banyak pendaftarnya. Pejabat dari pusat juga beberapa kali datang, walau sebenarnya tempatnya tidak terlalu memadai. Menurut Alifuddin, mental kewirausahaan mesti terus ditumbuhkan dan di- dorong agar menjadi lebih kreatif, inovatif, serta berani mengambil diriko memulai usaha. Selain itu, juga mengejar ilmu yang lain. Walau usianya terbilang tak lagi muda dan menyan- dang gelar doktor, namun pria yang rajin menulis ini masih aktif kuliah S-2 di UMI. Dirinya merasa ketinggalan kalau tidak menimba ilmu. Disadari pula bahwa informasi terkait perkembangan ilmu pengetahuan itu ada di bangku kuliah. Ketika dari Jakarta ke Makassar, Alifuddin belum tamat SMA. Karena itu, ia mesti bolak balik dua kota ini untuk menyelesaikan pendidikan. Sementara uru- san lembaga kursus ditan- gani oleh sekretaris dan beberapa stafnya.
“Mulai dari SMP sampai S3 semua saya selesaika di Jakarta. Prinsipnya, kalau saya tidak mengejar pendidikan tentu akan ketinggalan, sehingga tidak bisa mengembangkan lembaga kursus,” imbuhnya.
Setelah 13 tahun bergelut di lembaga kursus, Alifuddin dipercaya untuk mengelola lembaga pendidikan pergu- ruan tinggi. Lahirlah STMIK Handayani Makassar, yang menjadi cikal bakal hadirnya Universitas Handayani Makassar dan beroperasi hingga saat ini.
“Kita terus berusaha mengembangkan kampus. Sudah ada lahan kurang lebih 15 hektare di Benteng Gajah (perbatasan Gowa-Makas- sar-Maros) untuk pengam-bangan,” ungkapnya.
Universitas Handayani Makassar tak hanya mengelola jenjang strata satu (S-1), tapi juga S-2. Bahkan saat ini tengah disusun proposal untuk pendirian prodi jenjang S-3.
“Universitas Handayani Makassar satu-satunya di Indonesia yang diberikan izin untuk mengelola S-2 jurusan Ssistem Komputer. Sampai sekarang tidak ada alumn-inya yang menganggur. Bahkan, ketika di semester dua saja mereka sudah dipesan oleh pengguna tenaga kerja. Bahkan ada yang berani bayarkan semua uang kuliahnya yang telah digunakan,” beber Alifuddin. Dari situ kemudian ia berpikir untuk membuka prodi S-3 Sistem Komputer. (* / rus )
Sumber :
Koran Berita Kota Makassar
29 September 2022.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.